Mengejar Mimpi Tanpa Lelah Meski Jatuh Berulangkali

Dulu orangtuaku menganggap mempelajari bahasa tidak akan memberi kebahagiaan. Kita ketahui bahwa dogma itu sudah turun-temurun dari dahulu kala, bahkan dari zaman Chairil Anwar remaja. Saat itu, aku bertekad untuk menunjukkan pada mereka bahwa penilaian mereka salah. Aku ikuti maunya hingga bekerja menjadi seorang finance dan accountant di pelbagai perusahaan. Dalam perjalanan itu, aku berusaha menikmati. Memang benar, menjadi seorang finance/accountant bisa menciptakan kebahagiaan tapi kebahagiaan semu. Dunia ini tidak seindah yang terlihat di luar. Kerikil demi kerikil sering menantiku untuk menghalangi langkah. Aku pernah tersandung dan terjatuh berulangkali hingga tak kuasa menahan air mata dan berpura-pura menganggap semua baik-baik saja. Aku bodoh dengan kebohongan dan kepura-puraan. Aku berusaha bangkit lagi ketika melihat wajah dan kerja keras mereka untuk menyekolahkanku. Aku bahagia melihat mereka bahagia, tapi ini kebahagiaan semu untukku. 

Aku sempat berpikir, apa tujuan aku hidup. Untuk apa? Apa yang kucari? Renungan itu memberiku jawaban. Satu hari yang lalu aku bertekad untuk memilih sendiri tujuan hidupku. Sudah cukup aku menjalani hidup sesuai kemauannya. Aku berhak mencari kebahagiaanku sendiri tanpa harus didikte. Awalnya sulit karena harus merubuhkan satu pintu baja di hadapanku. Mungkin, aku bisa terluka dalam proses ini. Perdebatan demi perdebatan kulalui. Aku berusaha untuk tenang. Aku sempat kecewa saat rencana dan tujuanku dipatahkan dan diremehkan oleh orang terdekat. Rasanya, lebih sakit dari putus sama pacar. Aku berusaha tidak marah. Aku ulangi langkah itu karena hatiku berkata bahwa sekeras apapun batu akan luruh dengan tetesan air. Aku tidak ingin menjadi api. 

Dalam proses itu, aku terus melakukan apa yang harus kulakukan. Perlahan aku mengenalkan kepada mereka betapa indahnya dunia mimpiku ini dan betapa nikmatnya dunia ini hingga akhirnya mereka pun menyerah. Aku tidak mau dikasihani. Aku ingin menyerahnya mereka bukan karena kasihan padaku. Sebisa mungkin kukenalkan duniaku kepada mereka hingga akhirnya mereka mengerti bahwa apa yang dulu kukatakan bukanlah dongeng semata. 

Satu langkah telah kulewati. Masih banyak langkah-langkah berikutnya yang setia menantiku. Sebelum aku bertekad dengan semua ini, aku sempat ragu dengan waktu. Apakah mimpiku masih setia menunggu? Sedangkan, angka usiaku terus bertambah. Aku akan menua tapi tidak ingin tanpa menggapai mimpi. Aku pernah disebut pemimpi, pengkhayal, dreamer yang awalnya bikin hati perih. Kini, aku senang dengan sebutan itu. Bukankah hidup harus bermimpi agar tidak monoton dan hambar? 

Tidak melalui proses ini tidak dalam satu-dua hari atau satu-dua minggu. Butuh ratusan, bahkan ribuan hari untuk sekedar meruntuhkan pintu baja. Aku menikmati proses itu dengan melihat perubahan mereka atas apapun penjelasan mimpiku. Akhirnya, aku mengambil langkah selanjutnya. Ini yang kunantikan. 

Hari demi hari aku lewati dengan menyenangkan. Ternyata, lebih menyenangkan dari bayanganku. Aku yang dulu kerap depresi dengan hidup, kini perlahan menemukan kebahagiaan meskipun kerap melihat ekspresi terkejut banyak orang setiap menjawab rasa penasaran mereka dengan rencana ini. Mungkin mereka menganggapku gila. Bahkan, ada pula yang berusaha menjatuhkan semangatku. Aku tidak peduli. Aku sudah terbiasa dengan semua itu. Mungkin, pintu baja itu berpindah ke hatiku untuk menahan opini mereka yang katanya peduli padaku padahal tidak. Aku anggap mereka sedang mengujiku. Semoga aku lulus ujian itu. Setidaknya, perjalanan hidupku yang dulu sudah melatihku untuk kuat dan berani mengambil keputusan. 

Kini aku berdiri di pintu depan dunia mimpiku yang sebentar lagi menjadi kenyataan. Masih banyak pintu yang harus kulalui dengan kerja keras. Mungkin, waktu tidurku berkurang tetapi setidaknya kesehatanku tidak seburuk dahulu yang pernah mendarat di rumah sakit. Beban tekanan sama tetapi aku bahagia. Kebahagiaan itu yang memulihkan kemungkinan buruk terhadap kesehatanku. Aku menikmati. Seringkali aku tersenyum sendiri membayangkan bagaimana aku nanti saat berada di garis finish? Lalu, aku berkaca dan bicara dengan orang di cermin yang mirip denganku. Di kala tidak ada orang yang memotivasiku, ada kembaranku yang siap memotivasi, yaitu diriku sendiri.  

Sekarang dan seterusnya aku menjalani semua ini. Hari demi hari, kecintaanku terhadap bahasa semakin besar. Di kala banyak orang menganggap remeh dengan bahasa, aku tetap melangkah yakin di sini. Aku ingin seperti Chairil Anwar, di akhir hayatnya Beliau meninggalkan kecintaannya terhadap sastra sehingga dikenang sepanjang masa. 

Orang terdekatku berkata bahwa aku keras kepala. Tapi, dengan keras kepala yang aku miliki, aku tiba di sini, berdiri memandang titik cahaya mimpiku di depan sana dan melangkah ke arahnya dengan senyuman. Tanpa keras kepala itu, kemungkinan aku masih di belakang bersama kesemuan yang membosankan hingga akhir hayat. Keras kepala tidak selamanya berkonotasi negatif, bukan?

#KejarMimpi tanpa lelah. 

Tulisan ini aku dedikasikan untuk seseorang yang selalu memberi dukungan penuh dan percaya dengan mimpiku. Terima kasih. You are the one. 

Rose Diana

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Novel Dilan (Dia Adalah Dilanku Tahun 1990) - Pidi Baiq

Ulasan Novel Hyouka - Yonezawa Honobu

Ulasan Novel Heaven On Earth - Kaka HY

Ulasan Novel Gabriel Finley & The Raven's Riddle - George Hagen

Masa Lalu #Monolog