Bertemu Seekor Monyet yang Dapat Berbicara Bahasa Manusia.

Ulasan cerpen Confessions of A Shinagawa Monkey karya Haruki Murakami. (A Spoiler Alert!)


Ini bukan pertama kalinya Haruki Murakami menulis dengan audut pandang hewan. Sebelumnya, dia pernah menulis dengan sudut pandang kucing pada Kafka On The Shore. Dalam buku itu kucing dikisahkan dapat berbicara dengan manusia. Kali ini, ia menuliskannya lagi kisah seekor hewan yang dapat berbicara dengan manusia. Seperti judulnya. Hewan kali ini adalah seekor monyet. 

Saat membaca ini, saya langsung teringat Ubud, Bali yang terkenal hutan yang dipenuhi monyet hingga pengunjung dapat berinteraksi dengan mereka. Mereka dilepas begitu saja. Selain Ubud, saya juga teringat Taman Panorama Bukit Tinggi, di mana banyak monyet berkeliaran di sekitarnya. Bahkan, mereka bisa mencuri makanan yang kita bawa. Hati-hati kalau ke sana. 

Cerpen Confessions of A Shinagawa Monkey ini juga dikisahkan berlokasi di area wisata di Shinagawa. Saat itu tokoh utama yang tidak dijelaskan namanya, sekaligus narator, yang tengah berlibur musim semi di Shinagawa. Di Jepang pemandian air hangat sangat diminati. Narator menyewa penginapan di sana. Ia tak sengaja melihat seekor monyet, bahkan berbicara dengannya dengan bahasa manusia di bak pemandian. Saat itu, hanya mereka berdua. Si monyet juga menggosok punggung narator. Ia mengaku bekerja di penginapan itu. 

Selama itu, monyet menceritakan kisah hidupnya. Ia dapat berbicara bahasa manusia karena dibesarkan oleh seorang profesor dan istri profesor yang baik. Sejak kecil, ia dibesarkan dengan cara manusia, bahkan menggunakan bahasa manusia. Meskipun unik, ia mengaku dianggap aneh di kalangan monyet. Ia juga mengaku tidak ada ketertarikan seksual terhadap monyet betina. Orientasi seksualnya hanya kepada manusia. Sampai sini saja sudah aneh, bukan? 

Monyet itu menjelaskan cara ia jatuh cinta kepada manusia, yaitu dengan mencuri tujuh nama wanita. Sampai sini, bukan saya saja yang merasa aneh. Sang narator juga. Bagaimana bisa mencintai seseorang dengan mencuri namanya?


I believe that love is the indispensable fuel for us to go on living. Someday that love may end. Or it may never amount to anything. But even if love fades away, even if it’s unrequited, you can still hold on to the memory of having loved someone, of having fallen in love with someone. And that’s a valuable source of warmth. Without that heat source, a person’s heart—and a monkey’s heart, too—would turn into a bitterly cold, barren wasteland. A place where not a ray of sunlight falls, where the wildflowers of peace, the trees of hope, have no chance to grow.


Narator merasa makin jelas keanehan ini saat ingin check out. Ia hendak membayar bir yang diminum bersama dengan monyet tadi malam. Wanita tua yang berada di meja administrasi berkata bahwa ia tidak pernah menjual bir jenis botol. Di sana hanya menjual bir jenis kaleng. Ini aneh. Jelas-jelas tadi malam monyet itu mengambil botol bir dan mereka meminumnya bersama-sama, bahkan narator sempat memberi tip untuk si monyet. Narator ingin menceritakan keanehan itu kepada wanita tua, tetapi pasti dianggap aneh.


I felt as though bits of reality and unreality were randomly changing places. 


Lima tahun kemudian, narator bertemu seorang editor yang hendak memuat tulisannya. Editor tersebut sempat lupa namanya. Narator teringat ucapan monyet Shinagawa itu. Tadinya, ia hendak menceritakan kisah aneh ini kepada editor itu, namun tidak jadi. Meski demikian, narator tetap menuliskan kisah aneh ini. 


If that incident hadn’t taken place, I might well not be writing this.


Alurnya ringan dan mengalir begitu saja. Saya membaca cerpen ini hanya sekali duduk, karena begitu mengalir dan menikmati. Saya pernah membaca wawancara Haruki Murakami mengenai ini. Banyak pembaca menganggap bahwa ini adalah kisah Murakami sendiri. Monyet adalah metafora akan sesuatu. Bagi yang sudah sering membaca karya Haruki Murakami, sudah terbiasa dengan metafora yang dilakukan penulis Jepang satu ini. Bisa dikatakan, ini adalah gaya menulis Beliau. Ada juga pembaca yang berpendapat bahwa kisah cinta si monyet ini adalah cerminan manusia saat ini sejak pandemi Covid-19, di mana harus social-distancing. Mereka sulit untuk bertemu dan saling menyentuh, namun mengingat namanya saja dapat mengobati kerinduan. Pendapat ini sempat ditanyakan kepada Murakami dan Beliau menjawab bahwa pendapat itu luar biasa. 


Setelah membaca keseluruhan wawancara tersebut, saya ikut berpikir yang sama, benar juga, mengingat wajah dan nama orang yang kita cintai bahkan sudah cukup untuk mengobati rindu saat pandemi seperti ini. 

Bahasa Inggris yang digunakan di cerpen ini tidak sulit, masih menggunakan kosakata yang ringan sehingga dapat dinikmati oleh siapa saja, termasuk yang tidak begitu pandai Bahasa Inggris.  

Cerpen ini bisa dibaca di sini


⭐⭐⭐⭐⭐

rose diana

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Novel Dilan (Dia Adalah Dilanku Tahun 1990) - Pidi Baiq

Ulasan Novel Hyouka - Yonezawa Honobu

Cara Membuat Lipstik Cair Dari Lipstik Padat (How To Make A Liquid Lipstick From Solid Lipstick)

Ulasan Novel Terjemahan Nenek Hebat Dari Saga / Saga No Gabai Baachan - Yoshichi Shimada

Ulasan Novel Memeluk Masa Lalu - Dwitasari